TANYA :
Mohon dinilai apakah muamalah berikut sesuai syariah Islam. Ada sebuah
program investasi yang dijalankan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
trading, plantation, export, agrobisnis, dan investasi.* Nilai investasi dari
seseorang yang hendak menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut, sebesar Rp
1 juta. Bagi hasil akan diberikan sebesar 5 % setiap bulan selama 1 tahun.
Jadi, jumlah total yang akan dibagikan sebesar 5 % X 12 bulan = 60 % X Rp 1
juta = Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah). Bagi hasil diberikan setiap 4 bulan
sekali, sebesar Rp 120 ribu. Jadi, jumlah total uang yang akan diterima seorang
investor setelah selesai masa investasi (1 tahun), adalah Rp 1.600.000,- (satu
juta enam ratis ribu rupiah). (Anonim, Yogyakarta).
JAWAB :
Muamalah di atas termasuk syirkah mudharabah yang tidak sah (fasid) karena
dua alasan berikut ini :
Pertama, dalam akadnya sudah ditentukan lebih dulu jumlah
nominal tertentu yang akan diperoleh investor sebagai keuntungannya (yakni
Rp 600 ribu). Ini tidak dibenarkan dalam hukum mudharabah, karena penentuan
besarnya keuntungan harus dinyatakan dalam nisbah (persentase) tertentu
--misalnya 50 % untuk investor dan 50 % untuk pengelola modal (perusahaan)-- dan
bukan dinyatakan dalam jumlah nominal tertentu.
Kedua, terjadi kesalahan dalam penentuan persentase bagi hasil
dalam muamalah di atas. Dalam muamalah di atas, penentuan besarnya bagi hasil
didasarkan pada persentase modal (kapital), yaitu sebesar 60 % dari
modal, yaitu 60 % X Rp 1 juta, yang nominalnya Rp 600 ribu. Padahal yang benar
dalam hukum mudharabah, besarnya bagi hasil adalah persentase dari hasil
(laba/profit), bukan persentase dari modal.
Karena itu, muamalah di atas menurut syariah Islam adalah tidak sah. Dalam
istilah fiqih dan ushul fiqih, akad muamalah di atas disebut fasid (rusak),
yakni terjadi kekeliruan dalam hal-hal yang tidak termasuk rukun-rukun akad
(rukun akad ada tiga; dua pihak yang berakad, objek akad, dan ijab-kabul). Akad
fasid itu masih dapat diperbaiki atau diteruskan jika telah dilakukan koreksi
atas kesalahan yang ada (Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islamiyah,
III/225-228).
Fasidnya akad muamalah seperti di atas dapat ditelusuri dari pernyataan para
fuqaha berikut ini. Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah IV/750 mengenai mudharabah mengatakan :
"Jika dua pihak yang berakad [dalam mudharabah] menentukan jumlah
[keuntungan] tertentu yang sudah pasti, misalnya salah satunya mensyaratkan
memperoleh 100 dinar, atau kurang atau lebih [dari jumlah itu], sedang sisanya
untuk pihak satunya lagi, maka syarat ini tidak sah dan mudharabahnya
fasid."
Abdurrahman Al-Jaziri menyebutkan pula bahwa mudharabah yang telah
menentukan besarnya keuntungan dalam jumlah nominal tertentu, adalah fasid atau
tidak sah menurut empat madzhab. (Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah, III/36-44; Lihat juga fasidnya mudharabah semacam
ini dalam Abdul Aziz al-Khayyath, Asy-Syarikat fi asy-Syari’ah al-Islamiyah
wa al-Qanun al-Wadh’i, II/61; Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan
Bagi Hasil dalam Hukum Islam, hal. 19-20).
Selain itu, dalam muamalah di atas juga terjadi kekeliruan dalam cara
penentuan persentase keuntungan (bagi hasil). Yang terjadi, besarnya bagi hasil
ditetapkan sebagai persentase dari modal. Padahal yang seharusnya, bagi hasil
adalah persentase dari hasil (profit/laba). Dalam buku Shariah Standards
(edisi 2002) atau yang lebih dikenal dengan AAOIFI (Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institution) hal. 233 mengenai pembagian hasil dalam
mudharabah, dinyatakan :
"The distribution of profit must be on the basis an agreed percentage
of the profit and not on the basis of a lump sum or a percentage of the capital."
(Pembagian keuntungan harus didasarkan pada persentase yang disepakati dari
keuntungan (laba), dan bukan didasarkan pada suatu jumlah tertentu atau
persentase tertentu dari modal).
Maka dari itu, jelaslah bahwa mumalah di atas hukumnya tidak sah (fasid)
menurut syariah Islam dan wajib dilakukan koreksi, yaitu besarnya bagi hasil
bukan dinyatakan dalam jumlah nominal tertentu, melainkan dalam persentase
tertentu. Dan persentase tertentu ini pun, adalah persentase dari hasil (laba),
bukan persentase dari modal. [ ]
* = kesalahpahaman bagi hasil ini banyak terjadi di masyarakat. Adapun
program yang ditanyakan ini, dijalankan oleh PT. Primavindo Jaya Makmur, alamat
kantor Jl. Kemetiran Lor no. 10 Malioboro, Yogyakarta. Telp 0274-7178903, HP :
08122700965, Fax : 0274-580807.
Yogyakarta, 27 Pebruari 2006
Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 comments: